BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Berbicara
tentang Muhammadiyah dan Politik Islam, tidaklah dimaksudkan untuk membawa
pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi politik,
apalagi menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang
sejarah peran serta Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar
apabila kita merenungkan kembali peran amar makruf nahi munkar yang
selama ini menjadi trade mark Muhammadiyah, bukan hanya dalam dataran sosial
kemasyarakatan, tetapi juga dalam dataran sosial politik. Akhir-akhir ini
banyak komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah dalam
diskursus politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai
gerakan amar makruf nahi munkar. Betulkah demikian? tulisan berikut
ini mencoba melihat realitas hubungan Muhammadiyah dan politik, serta dampak
logisnya dalam konteks amar makruf nahi munkar.
Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi dan sekaligus
pemagaran diri Muhammadiyah dari polotik,khususnya politik-praktis(politik yang
berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di ranah Negara sebagaimana
partai politik,perjuangan di kancah real politics), secara
organisatoris dan kelembagaan kemudian dikukuhkan melalui Khitthah
Muhammadiyah, yang disertai dengan kebijakan-kebijakan Pimpinan Puat
Muhammadiyah maupun produk-produk Permusyawaratan dalam Muhammadiyah dalam
melaksanakannya.
Kristalisasi
paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan politik dapat dilacak
melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang telah digariskan
dalam permusyawaratan persyarikatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimensi Politik
Pemuda
Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan
meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang
merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan
perseorangan maupun kolektif. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah menilai
bahwa politik dan berpolitik bukanlah hal yang dilarang oleh agama. Dan Pemuda
Muhammadiyah bukanlah organisasi apolitik. Bahkan sebaliknya, Pemuda
Muhammadiyah menjadikan politik sebagai salah satu sarana dakwah yang
paling efektif dalam membumikan kehendak Tuhan di muka bumi. Namun demikian,
Pemuda Muhammadiyah meyakini bahwa kekuasaan politik merupakan ujian yang
diberikan oleh Allah kepada manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An’am ayat 165
yang berbunyi:
Artinya : Dan
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Oleh karena
kekuasaan politik merupakan bagian dari ujian Allah, maka Pemuda Muhammadiyah
harus mengarahkan perjuangan politiknya bagi kepentingan Islam dan umat Islam.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemuda Muhammadiyah dituntut melakukan
langkah-langkah sistematis dan strategis melalui empat strategi dan lapangan
perjuangan politik yaitu: Pertama, melalui kegiatan-kegiatan
politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real
politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai
politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan Negara.
Kedua,
melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau
pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high
politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan
moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di
tingkat masyarakat dan negara.
Ketiga,
mengelola fragmentasi potensi dan kekuatan politik secara baik dan benar agar
seluruh kepentingan umat Islam dapat terakomodasi secara maksimal. Bila usaha
untuk mempersatukan partai-partai politik Islam di bawah satu bendera sulit
dilakukan, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mempersatukan politisi
Islam di lembaga-lembaga legislatif mulai dari tingkat pusat sampai ke
daerah-daerah. Meskipun kenderaan politik berbeda, namun tujuan dan
orientasinya haruslah tetap sama.
Keempat,
pembumian nilai-nilai keislaman di jalur kultural (cultural approach).
Melalui lahan ini, Pemuda Muhammadiyah memiliki peluang yang cukup besar untuk
meningkatkan energi sumber daya umat sebagai basis penguatan civil society.
Target akhir yang ingin dicapai adalah agar Pemuda Muhammadiyah dapat
menyalurkan aspirasi politiknya secara maksimal dalam menjaga kelangsungan
agama sekaligus menata kehidupan dunia (hirasat al-din wa siyasat al-dunya).
B. Muhammadiyah dan
Politik
Dalam bidang
politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya. Apa itu khittah?
Khittah secara bahasa berarti langkah atau jalan. Dalam dunia gerakan
Muhammadiyah, Khittah dipakai untuk menyebut panduan langkah-langkah dalam
berjuang. Khittah adalah pedoman yang dipegang oleh Muhammadiyah yang sangat
berguna ketika menghadapi kenyataan yang sebenarnya di masyarakat. Singkatnya
khittah adalah garis-garis garis haluan perjuangan Muhammadiyah. Salah satu
Khittah Perjuangan Muhammadiyah berisi pernyataan tentang Muhammadiyah dan
Politik. Adapun pola dasar perjuangan Muhammadiyah dalam berpolitik, dengan
penjelasan sebagai berikut :
1.
Menegaskan bahwa Muhammadiyah berjuang untuk mencapai
keyakinan yang bersumber pada ajaran islam.
2.
Menegaskan bahwa untuk mencapai suatu keyakinan yang
bersumber pada ajaran islam tersebut dilaksanakan dengan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar.
3.
Menegaskan bahwa kegiatan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar dilaksanakan melalui dua saluran yaitu : saluran politik kenegaraan dan
saluran masyarakat.
4.
Menegaskan bahwa alat yang digunakan untuk dakwah amar
ma’ruf nahi munkar bidang politik dengan mendirikan partai politik, sementara
organanisasi kemasyarakatan dengan organisasi non partai.
5.
Menegaskan bahwa Muhammadiyah memilih dan menetapkan
dirinya sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sedangkan alat perjuangannya
di bidang politik Muhammadiyah membentuk partai politik.
6.
Menyebutkan peraturan yang mengatur hubungan
Muhammadiyah dan partai politik
7.
Partai politik merupakan objek binaan Muhammadiyah.
8.
Antara Muhammadiyah dan partai politik tidak ada
hubungan organisatoris tetapi memiliki hubungan ideologis.
9.
Muhammadiyah dan partai politik berjalan menurut
caranya masing-masing yang penting tujuannya sama.
10. Tidak
di ijinkan rangkap jaabatan di Muhammadiyah dan partai politik.
Dengan dakwah
amar ma ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya,
Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara
operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur
masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan
usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun
1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat
dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3
Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam
Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa
partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga
1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah.
Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di
kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap,
Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi
memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status
keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi.
Hal ini sempat
dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan
peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa
terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih
jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun
melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun
1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP
Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat
diadakan voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari
keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas
ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan
Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
Pada masa
Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa kita
telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif.
Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS,
hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari
presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim
idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama
masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi
untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk
Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham
Soekarnoisme.
Hingga kini,
sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai Politik
beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut
dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang
ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya.
Pada paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan
pada sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada
lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI.
Pada masa Orde
Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang mengedepankan
pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi
sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak
berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan.
Sementara di sisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan
(Partai) Golkar. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan
apapun dengan partai politik pada masa ini. Namun dampak dari situasi politik
ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam umumnya) adalah tiadanya
ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun.
Dan inilah yang
melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah lebih
menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana
intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik,
pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun
penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun
Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader Muhammadiyah yang memiliki bakat
dan kesempatan untuk berpolitik praktis, dipersilahkan untuk bergabung ke PPP,
Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang kemudian melahirkan komitemen
Muhammadiyah sebagai tenda besar kulturalyang diharapkan tetap
menjaga jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para politisinya
yang ada di mana-mana.
Memang situasi
keterkungkungan politik ini ada juga dampaknya secara organisatoris terhadap
Muhammadiyah (dan juga terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan
nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran
Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama,
Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah)
beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu pada Bab
II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasas
Pancasila”. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih tersisa
sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidak lepas
dari peran Muhammadiyah.
Pada era
Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang
signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan
potensi politik bangsa Indonesia.
Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakanamar makruf nahi
munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa
Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim
Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya
keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa
Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik.
Warga
Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan
partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol
manapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah
formulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang
disebut-sebut sebagai high politik tadi. Beberapa isyu
politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN,
dan Keadilan. Seluruh isyu tersebut memang merupakan mainstream Reformasi dan
sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Implikasi
praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat betapa perwujudan
kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan mengusung Gus Dur ke
Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya langkah ini harus segera
dikoreksi pada pertengahan tahun 2002.
Pada perjalanan
pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi
ini semakin menguat. Karena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004,
Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang
signifikan.
4. REALITA
POLITIK MUHAMMADIYAH SAAT INI
Muhammadiyah
tidak akan terpisah atau dipisahkan dengan politik, karena bagaianapun politik
adalah hulu dari segala kebijakan, hanya saja kegiatan politik muhammadiyah
adalah politik yang bermartabat dan tidak akan mengorbankan nilai-nilai
kepatutan dan keIslaman.
Saat ini ada
dua kelompok dalam internal Muhammadiyah yang memandang soal politik. Kelompok
pertama, menginginkan Muhamadiyah terlibat dalam politik praktis, karena mereka
menganggap tanpa mengambil poitik praktis, maka Muhamadiyah akan kesulitan
memperjuangkan kepentingan umat Islam dalam ranah publik. Sedangkan kelompok
yang kedua yang tidak ingin Muhammadiyah terlibat pada politik praktis, karena
hanya akan membuat tarik menarik kepentingan yang hanya akan membuat kerugian
dalam Muhammadiyah.
Muhammadiyah
sebenarnya tidak pernah melarang kadernya untuk terjun di kancah politik
praktis, bahkan mendukung kadernya untuk berkiprah di ranah politik. Hanya saja
ketika sudah masuk dalam ranah politik, maka kepentingan praktis jangan dibawa
ke dalam tubuh Presyarikatan, dan tetap menjunjung tinggi akhlaq sesuai dalam
bingkai Muhammadiyah.
Dengan melihat langgam
gerak Muhammadiyah mengenai politik tersebut, anggota atau kader Muhammdiyah
yang aktif dalam Partai Politik jangan sampai mencampuradukkan dan membawa
kepentingan politik ke dalam Persyarikatan. Lebih jauh lagi ketika konflik
kepentingan dan pemikiran haruslah mengutamakan dan membela Muhammadiyah.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalam bidang
politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma
ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah
harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan
secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara
Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi
masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materil dan spirituil
yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap
berpegang teguh pada kepribadiannya.
Banyak orang
berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi “khittah”
Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah
sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Modernitas gerakan Muhammadiyah,
lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas
patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa politik”
petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati
2. SARAN
Muhammadiyah
juga mengikuti politik, karena dapat menyebarkan agama lewat dakwah dan
politik. Sehingga masyarakat lebih mudah mengenal dan memahami ajaran agama
Islam dan maksud dari Muhammadiyah itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Nashir
DR. Haedar, Manhaj Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah kerjasama dengan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah).
Hidayat,Syamsul,M.Ag, 2011, Studi
kemuhammadiyahan, LPID, Surakarta.
Alfian,
Muhammadiyah The Political Behavior Of a Muslim Modernist Organization
Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1989.
Arifin, MT, Gagasan
Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta:
PT Dunia Pustaka Jaya, 1987
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah
Dalam Masyumi, Jakarta:
Grafiti, 1997