Batman Begins - Help Select Putera Sumbawa: KHITTAH MUHAMMADIYAH TENTANG MASALAH POLITIK Batman Begins - Help Select

hujan kembang api

Kamis, 03 Juli 2014

KHITTAH MUHAMMADIYAH TENTANG MASALAH POLITIK



BAB I
PENDAHULUAN
 1. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik Islam, tidaklah dimaksudkan untuk membawa pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi politik, apalagi menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang sejarah peran serta Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar apabila kita merenungkan kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini menjadi trade mark Muhammadiyah, bukan hanya dalam dataran sosial kemasyarakatan, tetapi juga dalam dataran sosial politik. Akhir-akhir ini banyak komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah dalam diskursus politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar. Betulkah demikian? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas hubungan Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar makruf nahi munkar.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi dan sekaligus pemagaran diri Muhammadiyah dari polotik,khususnya politik-praktis(politik yang berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di ranah Negara sebagaimana partai politik,perjuangan di kancah real politics), secara organisatoris dan kelembagaan kemudian dikukuhkan melalui Khitthah Muhammadiyah, yang disertai dengan kebijakan-kebijakan Pimpinan Puat Muhammadiyah maupun produk-produk Permusyawaratan dalam Muhammadiyah dalam melaksanakannya.
Kristalisasi paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan politik dapat dilacak melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang telah digariskan dalam permusyawaratan persyarikatan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimensi Politik
Pemuda Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa politik dan berpolitik bukanlah hal yang dilarang oleh agama. Dan Pemuda Muhammadiyah bukanlah organisasi apolitik. Bahkan sebaliknya, Pemuda Muhammadiyah menjadikan politik sebagai salah satu sarana dakwah yang paling efektif dalam membumikan kehendak Tuhan di muka bumi. Namun demikian, Pemuda Muhammadiyah meyakini bahwa kekuasaan politik merupakan ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An’am ayat 165 yang berbunyi:
Artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Oleh karena kekuasaan politik merupakan bagian dari ujian Allah, maka Pemuda Muhammadiyah harus mengarahkan perjuangan politiknya bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemuda Muhammadiyah dituntut melakukan langkah-langkah sistematis dan strategis melalui empat strategi dan lapangan perjuangan politik yaitu: Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan Negara.
Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara.
Ketiga, mengelola fragmentasi potensi dan kekuatan politik secara baik dan benar agar seluruh kepentingan umat Islam dapat terakomodasi secara maksimal. Bila usaha untuk mempersatukan partai-partai politik Islam di bawah satu bendera sulit dilakukan, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mempersatukan politisi Islam di lembaga-lembaga legislatif mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Meskipun kenderaan politik berbeda, namun tujuan dan orientasinya haruslah tetap sama.
Keempat, pembumian nilai-nilai keislaman di jalur kultural (cultural approach). Melalui lahan ini, Pemuda Muhammadiyah memiliki peluang yang cukup besar untuk meningkatkan energi sumber daya umat sebagai basis penguatan civil society. Target akhir yang ingin dicapai adalah agar Pemuda Muhammadiyah dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara maksimal dalam menjaga kelangsungan agama sekaligus menata kehidupan dunia (hirasat al-din wa siyasat al-dunya).
B. Muhammadiyah dan Politik
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya. Apa itu khittah? Khittah secara bahasa berarti langkah atau jalan. Dalam dunia gerakan Muhammadiyah, Khittah dipakai untuk menyebut panduan langkah-langkah dalam berjuang. Khittah adalah pedoman yang dipegang oleh Muhammadiyah yang sangat berguna ketika menghadapi kenyataan yang sebenarnya di masyarakat. Singkatnya khittah adalah garis-garis garis haluan perjuangan Muhammadiyah. Salah satu Khittah Perjuangan Muhammadiyah berisi pernyataan tentang Muhammadiyah dan Politik. Adapun pola dasar perjuangan Muhammadiyah dalam berpolitik, dengan penjelasan sebagai berikut :
1.      Menegaskan bahwa Muhammadiyah berjuang untuk mencapai keyakinan yang bersumber pada ajaran islam.
2.      Menegaskan bahwa untuk mencapai suatu keyakinan yang bersumber pada ajaran islam tersebut dilaksanakan dengan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
3.      Menegaskan bahwa kegiatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dilaksanakan melalui dua saluran yaitu : saluran politik kenegaraan dan saluran masyarakat.
4.      Menegaskan bahwa alat yang digunakan untuk dakwah amar ma’ruf nahi munkar bidang politik dengan mendirikan partai politik, sementara organanisasi kemasyarakatan dengan organisasi non partai.
5.      Menegaskan bahwa Muhammadiyah memilih dan menetapkan dirinya sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sedangkan alat perjuangannya di bidang politik Muhammadiyah membentuk partai politik.
6.      Menyebutkan peraturan yang mengatur hubungan Muhammadiyah dan partai politik
7.      Partai politik merupakan objek binaan Muhammadiyah.
8.      Antara Muhammadiyah dan partai politik tidak ada hubungan organisatoris tetapi memiliki hubungan ideologis.
9.      Muhammadiyah dan partai politik berjalan menurut caranya masing-masing yang penting tujuannya sama.
10.  Tidak di ijinkan rangkap jaabatan di Muhammadiyah dan partai politik.
Dengan dakwah amar ma ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
            Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi.
Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme.
Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI.
Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan. Sementara di sisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan partai politik pada masa ini. Namun dampak dari situasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam umumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun.
Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis, dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagai tenda besar kulturalyang diharapkan tetap menjaga jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para politisinya yang ada di mana-mana.
Memang situasi keterkungkungan politik ini ada juga dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah) beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu pada Bab II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasas Pancasila”. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih tersisa sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah.
Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakanamar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik.
Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high politik tadi. Beberapa isyu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isyu tersebut memang merupakan mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002.
Pada perjalanan pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini semakin menguat. Karena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang signifikan.

4. REALITA POLITIK MUHAMMADIYAH SAAT INI
Muhammadiyah tidak akan terpisah atau dipisahkan dengan politik, karena bagaianapun politik adalah hulu dari segala kebijakan, hanya saja kegiatan politik muhammadiyah adalah politik yang bermartabat dan tidak akan mengorbankan nilai-nilai kepatutan dan keIslaman.
Saat ini ada dua kelompok dalam internal Muhammadiyah yang memandang soal politik. Kelompok pertama, menginginkan Muhamadiyah terlibat dalam politik praktis, karena mereka menganggap tanpa mengambil poitik praktis, maka Muhamadiyah akan kesulitan memperjuangkan kepentingan umat Islam dalam ranah publik. Sedangkan kelompok yang kedua yang tidak ingin Muhammadiyah terlibat pada politik praktis, karena hanya akan membuat tarik menarik kepentingan yang hanya akan membuat kerugian dalam Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebenarnya tidak pernah melarang kadernya untuk terjun di kancah politik praktis, bahkan mendukung kadernya untuk berkiprah di ranah politik. Hanya saja ketika sudah masuk dalam ranah politik, maka kepentingan praktis jangan dibawa ke dalam tubuh Presyarikatan, dan tetap menjunjung tinggi akhlaq sesuai dalam bingkai Muhammadiyah.
Dengan melihat langgam gerak Muhammadiyah mengenai politik tersebut, anggota atau kader Muhammdiyah yang aktif dalam Partai Politik jangan sampai mencampuradukkan dan membawa kepentingan politik ke dalam Persyarikatan. Lebih jauh lagi ketika konflik kepentingan dan pemikiran haruslah mengutamakan dan membela Muhammadiyah.




BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati
2. SARAN
Muhammadiyah juga mengikuti politik, karena dapat menyebarkan agama lewat dakwah dan politik. Sehingga masyarakat lebih mudah mengenal dan memahami ajaran agama Islam dan maksud dari Muhammadiyah itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA
Nashir DR. Haedar, Manhaj Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah kerjasama dengan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah).
Hidayat,Syamsul,M.Ag, 2011, Studi kemuhammadiyahan, LPID, Surakarta.
Alfian, Muhammadiyah The Political Behavior Of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.
Arifin, MT, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, Jakarta: Grafiti, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar