BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Man the
un-known” (manusia adalah makhluk yang misteri) demikian di
ungkapkan oleh Alexis Carel ketika menggambarkan ketidaktuntasan pencarian
hakikat manusia oleh para ahli. Banyak ikhtiar akademis yang dilakukan oleh para
ahli saat ingin memapar siapa sesungguhnya dirinya. Ilmu-ilmu seperti filsafat,
ekonomi, sosiologi, antropologi juga psikologi dan beberapa ilmu lainnya adalah
ilmu yang membahas tentang manusia dengan perspektif masing-masing.
Erik Erikson
adalah salah satu diantara para ahli yang melakukan ikhtiar itu. Dari
perspektif psikologi, ia menguraikan manusia dari sudut perkembangannya sejak
dari masa 0 tahun hingga usia lanjut. Erikson beraliran psikoanalisa dan
pengembang teori Freud. Kelebihan yang dapat kita temukan dari Erikson adalah
bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, tidak seperti Freud yang hanya
sampai pada masa remaja. Termasuk disini adalah bahwa Erikson memasukkan
faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan tahapan manusia, tidak
hanya sekedar faktor libidinal sexual.
Perkembangan merupakan proses
perubahan secara progress baik secara fisik maupun non fisik menuju
kesempurnaan. Perkembangan secara fisik merupakan perkembangan yang terjadi
pada aspek-aspek biologis seorang individu. Sedangkan perkembangan non fisik
didalamnya terdapat perkembangan emosi, perkembangan kognitif, dan perkembangan
pada aspek sosial seorang individu.
Berkembangnya manusia dari satu
tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau ketidakberhasilannya
dalam menempuh tahap sebelumnya.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian
selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan
pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial.
Dalam psikologi perkembangan, banyak
dibahas mengenai bagaimana tahap perkembangan sosial individu, diantara tokoh
yang memberi kontribusi dalam hal ini adalah teori perkembangan psikososial
Erik H. Erikson. Erik Erikson adalah salah satu diantara para ahli yang
melakukan ikhtiar itu. Dari perspektif psikologi, ia menguraikan manusia dari
sudut perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga usia lanjut.
Erikson mengatakan bahwa istilah
“psikososial” dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis.
Dalam teorinya, Erikson membuat
sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai
perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan
tahap perkembangan manusia”
Kelebihan yang dapat kita temukan
dari Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, termasuk
disini adalah bahwa Erikson memasukkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
perkembangan tahapan manusia, tidak hanya sekedar faktor libidinal sexual.
Pada makalah ini, pemakalah akan
memaparkan mengenai pola perkembangan manusia menurut teori Psikososial Erik H.
Erikson.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Singkat Erikson
Erik Erikson lahir
di Frankfurt, Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902, dan meninggal di Harwich, Cape
Cod, Massachusetts, Amerika Serikat, pada tanggal 12 Mei 1994 pada umur 91
tahun. Ayahnya bernama Waldemar
Isidor Salomonsen dan ibunya bernama Karla Abrahamsen. Ayahnya telah
meninggalkan ibunya pada saat ia dilahirkan. Kemudian ibunya menikah lagi
dengan seorang dokter anak yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Erikson
kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang yang tidak menyenangii
atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan teman-temannya dikenal
sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat menyelesaikan program
diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan perjumpaannya dengan
beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan sekaligus seniman yang
diperhitungkan. Pertama ia berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu
Anna Freud. Dengan dorongannya, ia mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna
Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa
anak. Terakhir pada tahun 1960 ia
dianugerahi gelar profesor dari Universitas Harvard.
Sebelum menjadi seorang
psikoanalisis, Erikson adalah seorang guru seni di sekolah swasta di Wina.
Setelah berkenalan dengan Anna Freud, putri Sigmund Freud, Erikson mulai
mempelajari psikoanalisis di Wina Psychoanalytic
Institute. Segera setelah lulus dari Wina Psychoanalytic
Institute tahun 1933 Erikson beremigrasi, pertama ke Denmark dan kemudian ke
Amerika Serikat, di mana ia menjadi seorang psikoanalis anak pertama di Boston.
Pada usia 25 tahun,
Erikson kemudian bergabung dengan Peter Blos, teman lama Erikson pada saat di
Italia yang juga seorang seniman dan kemudian menjadi seorang psikoanalisis
yang terkenal bersama dengan Erikson, untuk mengajar pada sebuah sekolah, yaitu
Hietzing School yang baru didirikan untuk anak-anak di Wina. Dimana murid-murid
dari sekolah ini sebagian besar terdiri dari anak-anak dari pasien Freud dan
kawan-kawan Freud.
Pada tahun 1936, Erikson
bergabung dengan staf di Harvard University, dimana ia bekerja di Institut
Hubungan Manusia dan mengajar di Fakultas Kedokteran.
Setelah menghabiskan satu tahun mengamati anak-anak di
tempat penampungan Sioux, South Dakota, ia pindah ke University of California
di Berkeley, di sana ia berafiliasi dengan Institut Kesejahteraan Anak dan
membuka praktik pribadi juga. Sementara di
California, Erikson juga mempelajari anak-anak dari Yurok, suku asli Amerika.
Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan panjangnya di Eropa Pada tahun
1933 ia kemudian berpindah ke USA dan kemudian ditawari untuk mengajar di
Harvad Medical School. Selain itu ia memiliki pratek mandiri tentang psiko
analisis anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada Universitas California di
Berkeley, Yale, San Francisco Psychoanalytic Institute, Austen Riggs Center,
dan Center for Advanced Studies of Behavioral Sciences.
Selama periode ini Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan
kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika
asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya. Berdasarkan studinya ini,
membuka peluang baginya untuk menghubungkan pertumbuhan kepribadian yang
berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Keinginannya untuk meneliti perkembangan hidup manusia berdasarkan pada
pengalamannya ketika di sekolah. Saat itu anak-anak lain menyebutnya Nordic karena
ia tinggi, pirang, dan bermata biru. Di sekolah grammar ia ditolak karena
berlatar belakang Yahudi.
Buku pertamanya adalah Childhood
dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik di dalam bidang
ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda, Erikson
mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang
tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu: Young
Man Luther (1958), Insight and Responsibility (1964), Identity
(1968), Gandhi’s Truth (1969): yang menang pada Pulitzer Prize and a
National Book Award dan Vital Involvement in Old Age (1986).
B. Tahapan
Perkembangan Manusia Menurut Pandangan Dan Teori Erikson
Teori Erik Erikson membahas tentang
perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori
perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan
psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah
perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson,
perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang
kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa
kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif,
inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan
psikososial.
Menurut Erikson perkembangan
psikologis dihasilkan dari interaksi antara proses-proses maturasional atau
kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan-kekuatan sosial yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang seperti ini, teori
Erikson menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi sosialisasi
dibandingkan teori Freud. Selain perbedaan ini, teori Erikson membahas
perkembangan psikologis di sepanjang usia manusia, dan bukan hanya tahun-tahun
antara masa bayi dan masa remaja. Seperti Freud, Erikson juga meneliti akibat
yang dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman usia dini terhadap masa-masa
berikutnya, akan tetapi ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyelidiki
perubahan kualitatif yang terjadi selama pertengahan umur dan tahun-tahun akhir
kehiduaan.
Teori perkembangan kepribadian yang
dikemukakan Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat
dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting
dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia
mulai dari lahir hingga lanjut usia, satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud.
Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran
manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya
dianggap lebih realistis.
Erikson dalam membentuk teorinya
secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini
mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya
sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat
dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan
tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini
terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting
dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep
struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis
pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori
yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran
kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan
kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari
mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna
memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman
modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat
berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan
egonya. Erikson berpendapat
bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang
diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang
post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada
masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan
yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia
sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka
di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak
menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan
kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu
diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan
pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial.
Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan
psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan.
Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir
sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu
organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep
perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap
yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian
rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu
terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap
tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah
sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap
yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses
yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian
manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga
pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna
berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat
berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan
untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam
psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan
manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic.
Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau
sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence”
atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan
Cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran
kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan
karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan
hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya
fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya,
Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis.
Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis
adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah
sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena
pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang
suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan
berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic
principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas
dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap
manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar tersebut memaparkan tentang
delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap
manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris
diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan
positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk
tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan
dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam
kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat
dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih
menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut
dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang
dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial
Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar
teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori
perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara
mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu
diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud
dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku
bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana
dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing
untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan
yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada
Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif
(adaptasi keliru)
dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap
tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan
tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu
juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu
dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang
berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap
perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara
hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami
ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat
berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut
Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat
biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis
diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang
dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel
berikut ini :
Developmental Stage
|
Basic Components
|
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
|
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity
Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair
|
- Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust –
mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak
mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya,
tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu
kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia
bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda
asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau
menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap
ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun.
Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan
kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu
ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan
oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap
makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi)
dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang
secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih
kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi
dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan
dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman
untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya
dapat
dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi
terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai,
dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar
untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan
berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai
kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya,
jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak
dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat
ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka
sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan
selalu curiga kepada orang lain.
Hal
ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada
kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan
menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan
sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah
mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat
padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang
seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi.
Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah
merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan
berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis,
maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat
menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan
kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi
dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan
baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus
percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan
maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap
saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan
antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat
mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam
diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau
segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih
dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia
senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu
(ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di
mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat
(numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan
mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat
bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang
menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan,
penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam
hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan
merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang
lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism
(pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan
memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
- Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya
kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas
tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan,
bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di
pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat,
sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular
stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia
18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini
adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan
ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya
terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap
salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan
anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang
menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya,
anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya,
sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu
tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat
menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu
mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata
lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu
menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara
sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka
mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya
rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan
rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat
keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan
atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa
“kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan
kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu
dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah
dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana
yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai
sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan
maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain
dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan
merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol
mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas
kasih.
- Inisiatif vs Kesalahan
Masa
pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty.
Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan
kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi
karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami
kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan
bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap
ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor
stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode
tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus
diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan
(inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain
merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap
tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa
memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan
sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat
mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya.
Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital
ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak
kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka
seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan
diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness)
merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki
sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki
sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai
suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan
siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu.
Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah
yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan
sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat
yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga
dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir
suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi
yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam
pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak
dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan
oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu,
rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa
keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan
pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
- Kerajinan vs Inferioritas
Masa
Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority.
Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak
sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk
mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak
lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya
kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa
rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang
terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah
satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan
kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat
anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran,
misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman
harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya
pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi
semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga
dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun
guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada
usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada
umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama
teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan
orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif
akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang
mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi
lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin
malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh
Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari
pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama,
maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti
tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang
ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam
diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap
sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada
aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal
dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
- Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap
kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan
berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya
kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah
kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri,
ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan
identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan
berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai
penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di
satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar
terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan
pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang
diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari
peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana
cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin
luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada
tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap
identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara
aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu
sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain,
selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah
menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka
sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang
lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan
tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan
dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang
toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson
menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam
sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang
terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan
identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran.
Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa
atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang
mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam
kelompoknya.
Kesetiaan
akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau
antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang,
yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan
standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan,
kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
Ritualisasi
yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
- Keintiman vs Isolasi
Tahap
pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki
jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30
tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan
intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang
kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar.
Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan
orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk
membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab
atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah
ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh
sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan
seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks
teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk
perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang
dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga
hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi
yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi
menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk
mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain.
Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh
curiga terhadap orang lain.
- Generativitas vs Stagnasi
Masa
dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh
orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood)
ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya
masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan
segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak,
sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan
individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam
ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia
mengalami hambatan.
Apabila
pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai,
demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat
mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah
perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi
yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap
memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata
stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan
dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif
yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya
waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah
penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan
kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area
kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa
ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
- Integritas vs Keputusasaan
Tahap
terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh
orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence)
ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu
telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan
didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu
pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki
beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia,
hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini
individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi
pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut,
sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya
Dalam
teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil
melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini
adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap
ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang
dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena
orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak
berguna.
Kesulitan
tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling
tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri
yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup
itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka
tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan
terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan
kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson
berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan
di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan
dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap
menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali
kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan
kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu
sikap kebijaksanaan.
C.
Penerapan Teori Erikson dalam Pembelajaran di
Sekolah Dasar
Seorang anak memasuki sekolah dasar pada usia ±6
tahun. Menurut teori Erikson, usia ini sudah memasuki fase ke-IV, yaitu industry vs inferiority. Siswa yang masuk ke dalam suatu sekolah memiliki latar
belakang akademik dan sosial yang berbeda-beda. Agar pembelajaran menjadi lebih
efisien dan efektif, hendaknya seorang guru harus mengenali karakteristik
peserta didiknya agar lebih mudah dalam mengembangkan model pembelajaran yang
akan digunakan dalam mengajar (Hanurawan, 2007).
Pada tahap ini, hendaknya guru dapat memotivasi
siswanya agar dapat melalui fase ini dengan baik, sehingga siswa tidak merasa
rendah diri akan kelurangan yang dimilikinya. Menurut teori Piaget, anak pada
usia 7-11 tahun akan memasuki tahap concrete
operational stage, dimana anak menerapkan logika berpikir pada
barang-barang yang konkrit (Slavin, 2006). Pembelajaran karakter sangat tepat
diterapkan pada anak usia ini, sebab anak pada usia ini cenderung untuk meniru
segala perbuatan maupun perkataan yang dilihat maupun didengar yang dilakukan
oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itu, hendaknya seorang
guru mampu memberikan contoh yang baik kepada anak usia ini dengan berperilaku
dan bertutur kata yang sopan. Pembelajaran karakter ini diharapkan dapat
menjadi bekal bagi siswa untuk dapat melewati fase-fase perkembangan
psikososial selanjutnya dengan baik.
D.
Kelebihan
dan Kekurangan Teori Erikson
Shaffer (2005) mengatakan
banyak orang lebih memilih teori Erikson daripada Freud
karena mereka hanya menolak untuk
percaya bahwa manusia didominasi oleh
naluri seksual mereka. Erikson menekankan
banyak konflik sosial dan dilema pribadi yang dialami
seseorang atau orang yang mereka kenal, sehingga mereka dapat
dengan mudah mengantisipasinya. Erikson tampaknya telah menangkap banyak isu sentral dalam
kehidupan yang dituangkannya dalam delapan tahapan perkembangan psikososialnya. Selain itu, rentang usia yang yang dinyatakan
dalam teori Erikson ini mungkin merupakan waktu terbaik untuk menyelesaikan krisis yang
dihadapi, tetapi itu bukanlah satu-satunya waktu yang mungkin untuk menyelesaikannya (Slavin, 2006).
Selain memiliki kelebihan,
teori Erikson juga memiliki beberapa kelemahan. Berikut
beberapa kritikan terhadap teori Erikson.
- Tidak semua orang mengalami kasus yang sama pada fase dan waktu yang sama seperti yang dikemukakan Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya (Slavin, 2006).
- Teori ini benar-benar hanya pandangan deskriptif dari perkembangan sosial dan emosional seseorang yang tanpa menjelaskan bagaimana atau mengapa perkembangan ini bisa terjadi (Shaffer, 2005).
- Teori ini lebih sesuai untuk anak laki-laki daripada untuk anak perempuan dan perhatiannya lebih diberikan kepada masa bayi dan anak-anak daripada masa dewasa. (Cramer, Craig, Flynn, Bernadette. & LaFave, Ann, 1997).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori
perkembangan kepribadian yang dikemukakanErikErikson merupakan
salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Hal ini
dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga
lanjut usia. Selain, teori Erikson juga membawa aspek kehidupan
sosial dan fungsi budaya yang dianggap lebih realistis.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian
selalu diwujudkan sebagai
hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai
tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang
dari lahir dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan
suatu organisme. Sehingga seseorang tersebut menjadi matang secara fisik dan
psikologi.Masyarakat yang berbeda, dengan
perbedaan kebiasaan cara mengasuh anak, cenderung membentuk kepribadian yang
sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai budayanya.
Kemampuan bawaan penting dalam
perkembangan kepribadian, namunego
muncul karena dibentuk oleh masyarakat. Bagi Erickson , pada waktu manusia
lahir, ego hadir hanya sebagai potensi namun, untuk menjadi aktual
dia harus hadir dalam lingkungan kultural. Tahap perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan di atas perkembangan
sebelumnya (tetapi tidak mengganti perkembangan tahap sebelumnya itu).
Daftar Pustaka
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian edisi Revisi. Malang : UMM
Press
Anita Yus. 2011. Model Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:
Kencana.
Hall, Calvin, S., & Gardner Lindzey. 1978. Psikologi Kepribadian
1, Editor : Dr.A. Supratiknya. Jakarta. Penerbit Kanisius
Sarlito W
Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh Psikologi, Bulan
Bintang, Jakarta, 2002
Semium, Yustinus.2013.Teori-teori Kepribadian Psikoanalitik Kontemporer
jilid 2.Yogyakarta : Kanisius
Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori
Perkembangan Anak, Gunung Mulia, Jakarta, 1990
Suryabrata, Sumadi.2005.Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar